Inilah cuplikan kisah jurnalis muda yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen alias AJI. Lantang menentang rezim Soeharto dan siapa saja yang mengancam kebebasan pers. Tetapi di dalam selalu bertengkar dari waktu ke waktu. Kisah selengkapnya silakan baca buku Semangat Sirnagalih: 20 Tahun Aliansi Jurnalis Independen, yang ada di situs ini.
======
Setiap Kongres AJI memiliki kisah konfliknya sendiri. Dari delapan kongres sepanjang sejarah AJI, kongres 2001 di Semarang adalah salah satu yang konfliknya “khas”, dengan penyebab berbeda dari kongres sebelumnya. Kali ini pemicunya adalah soal pendanaan yang berasal dari sponsor. Kongres yang digelar di Graha Santika, Semarang, pada 9-11 November 2001 ini diwarnai aksi boikot.
AJI Yogyakarta, yang saat itu dipimpin Raihul Fadjri, bukan hanya memboikot acara itu, tapi juga melakukan demonstrasi di luar tempat acara dua tahunan ini. AJI Yogyakarta mempersoalkan sponsorship untuk acara kongres, termasuk dari Kompas. Sebelumnya, kongres AJI hanya dibantu lembaga donor dan sumbangan perorangan yang bersimpati kepada AJI.
“Menurutku, dan menurut teman-teman AJI Yogya, bahwa perusahaan media akan berhadapan dengan AJI saat berhubungan dengan masalah ketenagakerjaan. Kalau ada konflik kerja di perusahaan pers, bagaimana? Kalau ada anggota AJI yang bekerja di perusahaan pers (yang jadi sponsor) itu, bagaimana?” kata Fadjri, menjelaskan alasan sikapnya saat itu. AJI Yogyakarta minta dana sponsorship itu dikembalikan.
Pendanaan organisasi, kata Fajri, sebaiknya menggunakan sumber dana lain yang tidak menimbulkan conflict of interest, misalnya dari lembaga donor asing. “Yang jelas, kita memang tidak bisa mengandalkan dana dari iuran anggota,” kata Fadjri. Tapi dia juga menegaskan, donor asing pun harus pilih-pilih juga. Tapi yang pasti bukan dari lembaga pemerintah atau media.
Didik Supriyanto, Sekjen AJI 1999-2001, menyebut konflik saat itu sangat keras. Karena AJI Yogyakarta tidak hanya protes lisan, tapi menggelar demonstrasi. “Sebagian teman-teman terpengaruh, kan gerakannya pemurnian AJI. Jadi AJI dianggap tidak murni. Slogannya seperti itu. Saya hadapi saja. Saya bilang sampai mati pun saya tidak akan mencabut,” kata Didik Supriyanto. Sikap keras dua pihak itu membuat kongres terpolarisasi.
Pengurus AJI Indonesia tidak memenuhi tuntutan Fadjri dan kawan-kawan karena merasa tidak ada aturan yang dilanggar. “Tapi sebagian besar masih menghormati tata tertib organisasi. Kan sebelum ada aturan, orang belum melanggar kecuali kalau sebelumnya ada aturan dilarang menggalang sponsor,” kata Didik.
Ati Nurbaiti, yang ikut kongres Semarang dan akhirnya dipilih menjadi ketua umum, menyebut para demonstran itu menyamakan sponsorship dengan amplop. Padahal, keduanya sangat berbeda. ”Amplop itu utangnya seumur hidup, meskipun jumlahnya hanya sepuluh ribu rupiah. Sedangkan sponsorship, ada kontrak jelas, dan tidak berpengaruh ke pemberitaan, tetap bisa menulis bebas,” kata Ati.
Argumentasi pengurus AJI Indonesia tak bisa meyakinkan Fadjri dan kawan-kawan. AJI Indonesia meneruskan jalannya kongres dan tak memenuhi tuntutan para penentang sponsorship. “Akhirnya saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari AJI,” kata Fadjri. Keteganganyang kuat dalam kongres Semarang soal sponsorship ini mempengaruhi agenda kongres tahun itu, juga pengurus yang dihasilkannya.
Selain menetapkan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, dan Program Kerja, kongres juga memiliki agenda pemilihan ketua dan sekjen . Saat itu ada sejumlah nama yang muncul sebagai calon ketua dalam arena kongres. Salah satunya adalah Ezki Suyanto, selain wartawan The Jakarta Post Ati Nurbaiti.
Ati Nurbaiti akhirnya terpilih sebagai ketua umum, sedangkan Sekretaris Jenderal dijabat Solahuddin. “Saya dan Solahuddin terpilih di kongres yang sepertinya mencari figur yang dapat diterima semua pihak, tanpa terlalu melihat visi misi dan pengalaman organisasinya,” kata Ati Nurbaiti. Didik Supriyanto juga melihat, kedua orang ini memang orang yang bukan terlibat konflik saat itu.
Menurut Ati Nurbaiti, untuk mendinginkan konflik, kabinet hasil kongres Semarang ini tidak terlalu giat mencari sponsor selama dua tahun periode kepengurusannya. “Selain itu kami berniat meningkatkan sistem keuangan agar lebih tertib dan lebih efisien, antara lain karena para donor sudah tampak enggan membiayai ongkos-ongkos overhead,” kata Ati.
Dampak dari perselisihan di Semarang ini dirasakan oleh kepengurusan yang dihasilkan kongres keempat AJI itu. “Salah satu tugasku adalah merekonsiliasi daerah, dan kemudian bisa membujuk Yogya yang membekukan diri secara sepihak,” kata Solahuddin. Ia menegaskan bahwa AJI Yogyakarta membekukan dirinya sendiri, bukan dibekukan AJI Indonesia.
Keributan soal sponsor ini akhirnya mewarnai pembahasan revisi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga AJI. Muncul aturan-aturan kriteria sumber dana yang boleh dan tidak boleh diterima. Namun, Kongres Semarang tidak melarang AJI menerima dana bantuan atau sponsor acara dari lembaga-lembaga yang tidak bermasalah secara hukum, ketenagakerjaan dan lingkungan hidup. Selain itu, ada juga aturan tidak boleh menggunakan dana publik seperti Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/ Daerah.
Isu soal sponsor itu sempat kembali muncul pada tahun 2007, di masa kepengurusan Heru Hendratmoko-Abdul Manan, meski kasus itu tak seheboh saat kongres Semarang. Soal ini bermula dari proses hukum polisi terhadap Rokhmin Dahuri, Menteri Kelautan dan Perikanan, dalam kasus penggunaan dana non-bujeter. Saat proses hukum itu sedang berlangsung, ada anggota yang memberitahu pengurus AJI bahwa Rokhmin Dahuri pernah memberi sumbangan kepada AJI untuk acara ulang tahun AJI tahun 2004.
Informasi itulah yang lantas ditelusuri oleh pengurus AJI Indonesia bekerjasama dengan AJI Jakarta. Acara HUT tiga tahun lalu itu diselenggarakan keduanya. Penelusuran itu menemukan bahwa memang ada uang Rp 15 juta dari Rokhmin yang tercatat dalam buku penerimaan sumbangan untuk tahunan AJI itu. Meski masalah itu belum diketahui publik, AJI berinisiatif menggelar konferensi pers 11 Juli 2007 itu untuk menjelaskan temuannya.
Heru menjelaskan, setiap kegiatan AJI, terutama peringatan ulang tahun, memang menggunakan dua sumber dana dari pihak luar. Pertama, dari sponsor oleh perusahaan maupun lembaga. Kedua, dari donasi perorangan. Menurut Heru Hendratmoko, AJI belum tahu secara pasti apakah dana yang diterima panitia HUT tiga tahun lalu itu berasal dari Departemen Kelautan dan Perikanan, atau dari kantong pribadi Rokhmin.
Sebelum konferensi pers tersebut, AJI sudah berinisiatif mengembalikan dana itu kepada Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Setelah ditanyakan kepada DKP,ternyata tak ada mekanisme di lembaga itu untuk menerima pengembalian dana. Karena itu, AJI akhirnya memutuskan mengembalikan dana itu ke rekening Departemen Sosial (Depsos), dengan cara ditransfer.
Di luar kasus Rokhmin Dahuri, soal lain yang terkait dana yang membuat nama AJI muncul di media massa adalah soal proyek Bank Dunia yang menyeret nama mantan Ketua AJI Lukas Luwarso dan mantan Ketua AJI Jakarta Imran Hasibuan. Penyelidikan soal dilakukan pada kepemimpinan Eddy Suprapto-Nezar Patria (2003-2005). Saat Itu ada informasi bahwa proyek Program Pengembangan Kecamatan (PPK) Bank Dunia yang mencatut nama AJI, terhitung sejak tahun 1999 sampai 2004.
AJI kemudian membentuk Tim Pencari Fakta Proyek Program Pengembangan Kecamatan (PPK) untuk mengurus masalah ini, yang diketuai Rommy Fibri, mantan Ketua AJI Jakarta yang tahun 2004 itu menjadi pengurus AJI Indonesia. Tim ini melakukan pengumpulan fakta dan kemudian mengkonfrontasikan dengan keduanya. Hasilnya, seperti tertuang dalam laporan akhir Tim ini 1 November 2004, disimpulkan bahwa ada tindakan pelanggaran oleh Lukas dan Imran karena menggunakan nama AJI untuk mendapatkan proyek pribadi.
Tim Pencari Fakta membuat laporan akhir 1 November 2004. Rekomendasi dari laporan itu, Secara internal, tim meminta ada sanksi organisasi, yang paling berat hingga pemecatan dari keanggotaan AJI, untuk Lukas dan Imran Hasibuan. Secara eksternal, merekomendasikan adanya langkah hukum kepada Lukas Luwarso. AJI Jakarta mengikuti rekomendasi tim pencari fakta dan mengeluarkan pemecatan sementara terhadap Lukas dan Imran.
Lukas menyebut kasus ini kesalahpahaman. “Itu adalah kasus paling konyol yang menimpa saya dan AJI sebagai organisasi. Konyol, karena kasus ini meledak di luar proporsi karena kesalahpahaman. Resminya kan saya tidak tahu bagaimana, dituduh korupsi,” kata Lukas. Rommy mengatakan, Lukas dan Imran bukan korupsi, melainkan dianggap menyalahgunakan wewenang. “Ketika saya konfirmasi ke Bank Dunia, mereka mengatakan memberikan program itu karena melihat Lukas/ Imran pengurus AJI, yang notabene punya pengurus AJI-AJI kota yang ingin dimanfaatkan untuk mengawasi program daerah kerjasama World Bank dan Depdagri.”
Lukas menceritakan, saat masih Ketua AJI, tahun 1999, Bank Dunia menawarkan kepada AJI untuk menggarap proyek pemantauan media. Lukas menolak dengan alasan AJI tidak punya kemampuan melakukan itu. Selain harus mengelola dana yang besar, AJI juga harus mengkoordinir jurnalis di seluruh Indonesia untuk melakukan pemantauan, sesuatu pekerjaan yang agak menyimpang dari tujuan AJI.
Imran Hasibuan secara terpisah menyatakan, AJI memang tidak bisa melakukan kontrak dengan Bank Dunia ini karena persyaratannya yang berbelit-belit dan mensyaratkan harus memiliki badan hukum. Imran menawarkan soal ini ke LP3ES.“Jadi sebenarnya itu bukan AJI. Tapi tepatnya teman-teman media lokal/di daerah,” kata Imran Hasibuan.
Didik Supriyanto, Sekjen AJI periode 1999-2001, menilai Lukas dan Imran tidak bersalah. Ia menyebut tindakan Lukas yang menolak program Bank Dunia itu sudah tepat. “Karena ini organisasi wartawan dan wartawan kerjaannya seperti itu malah menjadi agennya World Bank kan? Akhirnya diambil LP3ES. Terserah LP3ES memanfaatkan orang-orang AJI terserah. Makanya kalau kemudian jadi masalah, saya juga agak heran,” kata Didik.
AJI Jakarta menindaklanjuti rekomendasi tim. Kasus ini muncul ke media massa setelah Edi Haryadi, anggota AJI melaporkan kasus ini ke Polda Metro Jaya, 3 Mei 2005. “Aku menduga ada penyimpangan dalam proyek monitoring jurnalistik dalam Proyek Pemantauan Kecamatan oleh Bank Dunia selama 1999-2004,” ujar Edi. Selain Lukas, yang ikut dilaporkan adalah Imran Hasibuan dan Enceng Sobirin dari LP3ES.
Lukas mengatakan, program ini, sepenuhnya dikelola LP3ES. Peran Lukas hanya menganalisis hasil liputan pemantauan yang dilakukan para jurnalis di daerah-daerah. Lukas sendiri mengaku tak melakukan perlawanan balik dengan melaporkan ke polisi pada tahun 2005 itu karena saat itu ingin fokus pada studinya di Amerika Serikat, Humphrey Fellowship selama satu tahun. “Makanya saat itu saya memilih tak konfrontasi supaya saya tetap bisa berangkat ke Amerika. Usai adanya laporan ke polisi tahun 2005 lalu, kasus ini tak jelas ujung proses hukumnya.