HOME / Tulisan

Sistematika UU Pemilu (5): Penegakan Hukum Pemilu

28 May 2025

Sistematika UU Pemilu (5): Penegakan Hukum Pemilu

Praktik pemilu Indonesia mengenal lima masalah hukum: tindak pidana, pelanggaran administrasi, perselisihan administrasi, perselisihan hasil, dan pelanggaran kode etik. Prosedurnya harus disederhanakan.

Dalam penyelenggaraan pemilu terdapat konsep keadilan pemilu, yakni terpenuhinya hak pilih warga negara, yaitu hak memilih dan hak dipilih. Oleh karena itu kerangka hukum (undang-undang dan peraturan lainnya) pemilu demokratis harus disusun berdasarkan tiga prinsip: bebas, jujur, dan adil.

Konsep keadilan pemilu mewujud dalam bentuk sistem keadilan pemilu, yang merupakan instrumen untuk menegakkan hukum pemilu secara efektif. Sistem keadilan pemilu terdiri dari mekanisme dan prosedur untuk memastikan bahwa peraturan pemilu dijalankan dengan benar oleh semua aktor pemilu.

Di negara-negara pengguna common law, seperti Inggris, Amerika Serikat, dan negara-negara bekas jajahannya, penanganan semua jenis pelanggaran pemilu dimasukkan ke dalam kotak penyelesaian sengketa pemilu. Di sini, pihak yang merasa dirugikan, baik karena masalah administrasi maupun pidana, dapat mengajukan gugatan ke pengadilan. Hakim yang akan memutus, siapa benar siapa salah, dan bagaimana sanksinya.

Di negara-negara pengguna civil law, seperti Prancis, Jerman, Belanda, dan negara-negara bekas jajahannya, masalah hukum pemilu dikategorikan dengan jelas dalam undang-undang pemilu: tindak pidana, pelanggaran administrasi, sengketa administrasi, dan sengketa hasil pemilu. Malah, di Indonesia akibat ketidakpercayaan tinggi terhadap penyelenggara pemilu, masalah kode etik penyelenggara pengaturannya mendapat porsi besar dalam undang-undang.

Buku Keempat Penegakan Hukum

Oleh karena itu dalam Buku Keempat Penegakan Hukum Pemilu, masalah hukum pemilu langsung dibagi menjadi beberapa bab, yaitu: Bab Laporan Pelanggaran dan Sengketa, Bab Penanganan Pelanggaran Administrasi, Bab Penanganan Tindak Pidana, Bab Penyelesaian Sengketa Administrasi, Bab Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu, dan Bab Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu.

Dari pemilu ke pemilu selalu terjadi perubahan-perubahan kelembagaan maupun prosedur penegakan hukum pemilu. Namun perubahan-perubahan justru semakin menambah ruwet proses penegakan hukum pemilu, menjauh dari prinsip peradilan cepat, murah, dan sederhana. Sudah begitu, hasilnya justru sering menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum.

Oleh karena itu pembentuk undang-undang harus menyederhanakan prosedur penegakan hukum pemilu. Bukan semata demi efisiensi dan efektivitas, tetapi demi keadilan dan kepastian hukum. Prinsip pemilu yang bebas, jujur, dan adil harus benar-benar terwujud dalam proses dan hasil penegakan hukum pemilu.

Secara kelembagaan, posisi dan fungsi Bawaslu harus diperjelas. Lembaga ini tidak boleh lagi menjalankan peran ganda sebagai pengawas sekaligus sebagai penyelesai sengketa administrasi. Ini menyalahi prinsip dasar penegakan hukum, yakni independensi dan netralitas. Mana mungkin sebagai penyelesai sengketa administrasi Bawaslu bisa bersikap adil kalau perkara yang sama pernah ditangani dalam posisinya sebagai pengawas pemilu.

Lembaga Penegakan Hukum Pemilu (Gakumdu) dibubarkan saja, sebab lembaga ini tidak hanya memperpanjang dan menghalangi proses penegakan tindak pidana, tetapi juga menjadi arena lempar tanggung jawab. Polisi dan atau jaksa menyalahkan Bawaslu karena unsur-unsur tindak pidana tidak terpenuhi; sebaliknya Bawaslu menyalahkan polisi atau jaksa karena malas atau takut.

Penangan tindak pidana pemilu dikembalikan saja pada sistem hukum acara pidana: pelanggaran pidana pemilu langsung dilaporkan kepada polisi. Selanjutnya, polisi menyerahkan berkas penanganan kepada jaksa, dan jaksa yang melakukan penuntutan di pengadilan. Jika penanganan tindak pidana tidak jelas hasilnya, jelas siapa yang harus “digebukin”, polisi atau jaksa.

Pelanggaran administrasi pemilu dan sengketa administrasi pemilu (atau sengketa nonhasil hasil atau sengketa dalam proses pemilu, yang terjadi di antarpeserta dan atau antarcalon), langsung diselesaikan KPU sesuai tingkatannya. Keputusannya final karena karena KPU yang paham urusan. Jika KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota tidak serius atau ngawur dalam mengambil keputusan, mereka diancam tuduhan melanggar kode etik. Dalam praktik pelanggaran administrasi dan sengketa administrasi atarpeserta dan atau antarcalon ini dalam proses ini, jarang terjadi.

Yang sering terjadi adalah ketidakpuasan terhadap putusan KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota nonhasil pemilu. Di sinilah lembaga peradilan pemilu diperlukan, yang bisa saja ditransformasikan dari Bawaslu. Lembaga peradilan ini bersifat ad hoc, dan hanya terdapat di provinsi dan nasional.

Mereka yang merasa dirugikan oleh keputusan KPU kabupaten/kota dan KPU provinsi, bisa mengajukan gugatan di peradilan pemilu provinsi, dan bisa banding di nasional. Putusannya final. Putusan KPU bisa digugat di sini, dan putusannya final.

Karena KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota bersifat hirarkis, maka pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu di lingkungan panitia kecamatan dan panitia desa/kelurahan, diselesaikan KPU kabupaten/kota. Pelanggaran oleh KPU kabupaten/kota diselesaikan oleh KPU provinsi, dan pelanggaran oleh KPU provinsi diselesaikan oleh KPU.

DKPP seharusnya fokus mengawasi pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh KPU, termasuk menerima pengaduan atas putusan KPU dan KPU provinsi yang dinilai tidak fair dalam menangani pelanggaran kode etik penyelenggara.

Terakhir, penanganan sengketa hasil yang diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sudah berjalan baik. Masalah utamanya adalah MK kewalahan dalam menyelesaikan sengketa hasil pemilu serentak presiden-legislatif, sehingga waktu penyelesaian sangat panjang. Inilah yang menyebabkan jarak antara penetapan hasil pemilu dengan pelantikan panjang juga.

Panjangnya jarak antara penetapan calon terpilih dengan pelantikan, menyebabkan terjadi manuver-manuver politik sebelum pelantikan, satu di antaranya yang menonjol adalah pergantian calon terpilih yang mencederai prinsip pemilu yang bebas, jujur, dan adil.

Tulisan Terkait

didiksupriyanto

didiksupriyanto