HOME / Tulisan

Pengertian Sistem Pemilu (1): Perdebatan dengan Referensi Terbatas

2 Jun 2025

Pengertian Sistem Pemilu (1): Perdebatan dengan Referensi Terbatas

Diskusi sistem pemilu sering misleading karena terpaku pada perdebatan sistem proporsional daftar tertutup versus sistem proporsional daftar terbuka. Salah kaprah sistem distrik pun dibiarkan berlanjut.


Dalam perbincangan umum, istilah “sistem pemilu” mengandung banyak makna. Secara luas diartikan semua hal yang saling terkait dalam penyelenggaran pemilu; secara sempit mengerucut pada pengertian sistem pemilu proporsional, yang dibedakan atas sistem proporsional daftar terbuka versus sistem proporsional daftar tertutup. Selain itu juga terdapat sistem distrik.

Perbincangan tentang sistem pemilu tersebut bersumber dari dokumen perundang-undangan. Undang-undang pemilu pertama, yakni UU No 27/1948, dan UU No 7/1953 yang menjadi dasar hukum penyelenggaraan Pemilu 1955, sama sekali tidak menyebut istilah pemilu proporsional. Demikian juga dengan UU No 15/1969 yang menjadi dasar penyelenggaraan pemilu-pemilu Orde Baru.

Istilah sistem pemilu proporsional pertama kali muncul dalam UU No 3/1999 yang menjadi dasar hukum penyelenggaraan pemilu transisi, yaitu Pemilu 1999. Pasal 1 Ayat (7) UU No 3/1999 menyatakan, “Pemilihan Umum dilaksanakan dengan menggunakan sistem proporsional berdasarkan stelsel daftar.” Lalu, Penjelasan Umum No 4, berbunyi, “Untuk pemilih Anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II digunakan sistem proporsional berdasarkan stelsel daftar.” Yang dimaksud stelsel daftar adalah daftar tertutup, karena yang dipilih partai politik.

Selanjutnya, pasca-Perubahan UUD 1945 semua undang-undang pemilu legislatif (UU No 12/2003, UU No 10/2008, UU No 8/2012) dan undang pemilu serentak presiden-legislatif (UU No 7/2017), menggunakan istilah sistem proporsional dengan daftar terbuka. Selain itu muncul istilah sistem distrik berwakil banyak untuk memilih anggota DPD.

Pasal 6 UU Ayat (1) UU No 12/2003 berbunyi, “Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka.” Lalu Ayat (2) berbunyi, “Pemilu untuk memilih anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak.”

Karena perbincangan tentang sistem pemilu berasal dari undang-undang, maka pengetahuan publik atas sistem pemilu menjadi terbatas. Akibatnya publik hanya dijejali perdebatan sistem pemilu proporsional daftar terbuka versus sistem proporsional daftar tertutup.

Sementara penggunaan istilah sistem distrik berwakil banyak tetap bertahan meskipun istilah itu tidak benar. Sebab, “distrik” yang diambil dari bahasa Inggris “district”, tidak lain adalah “daerah pemilihan” hanyalah salah satu elemen sistem pemilu. Namun karena perbincangan pemilihan DPD tidak menarik, maka salah kaprah tersebut dibiarkan berlalu.

Mengapa perbincangan tentang sistem pemilu seakan-akan terbatas pada perdebatan sistem pemilu proporsional daftar tertutup versus sistem pemilu proporsional daftar terbuka? Mengapa salah kaprah sistem distrik berwakil banyak dalam undang-undang pemilu tidak ada yang meluruskannya?

Hal ini terjadi karena perumusan tentang pasal-pasal sistem pemilu oleh pembentuk undang-undang tidak ditopang oleh kajian akademis yang memadai dari ilmu politik maupun hukum tata negara. Mengapa?

Ya, karena waktu itu, saat membahas RUU Pemilu untuk Pemilu 1999, tidak banyak –kalau tidak boleh dikatakan tidak ada– ilmuwan politik yang mendalami ilmu pemilu. Pun demikian juga ahli hukum tata negara, tidak tertarik membahas isu pemilu sebagai wahana untuk mewujudkan paham kedaulatan rakyat.

Saya ingat, pada paruh kedua 1980-an, sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, terdapat mata kuliah Partai Politik dan Pemilu. Prof Dr Afan Gaffar yang mengampu mata kuliah tersebut, lebih banyak membahas partai politik daripada pemilu. Sebab, dinamika partai politik lebih menonjol daripada pemilu Orde Baru yang proses dan hasilnya begitu-begitu saja.

“Saya belajar perilaku pemilih, tetapi ilmu saya tidak berguna di sini. Lha, bagaimana, pemilu belum dilaksanakan, hasilnya sudah diketahui,” tutur Prof Dr Riswanda Imawan yang mengampu mata kuliah Perbandingan Politik.

Beberapa buku hukum tata negara, yang ditulis oleh dosen Fakultas Hukum UGM, UI, dan Unpad lebih banyak menjelaskan kewenangan lembaga negara (MPR, DPR, Presiden, MA, dan BPK) dan hubungan antarlembaga tersebut. Bagaimana pemilu menghasilkan DPR, tidak banyak dieksplorasi. Bahkan kata “pemilu” tidak ada dalam konstitusi pun, nyaris tidak pernah dibahas.

Singkatnya, mempelajari pemilu pada zaman Orde Baru adalah sesuatu yang tidak menarik. Akibatnya, setelah rezim Soehrato tumbang, para politisi, akademisi, juga penggerak demokrasi, gagap dalam menyiapkan konsep pemilu yang cocok untuk Indonesaia. Beberapa ahli yang datang diundang malah dicurigai macam-macam.

Masa perancangan dan pembahasan RUU Pemilu 1999 berlangsung singkat akibat mengejar tenggat jadwal pemilu bebas dan adil, juga membuat kajian sistem pemilu tidak meluas dan mendalam. Pengalaman pemilu-pemilu Orde Baru menjadi acuan, sedangkan pengalaman Pemilu 1955 hanya teringat yang baik-baiknya saja akibat dikontraskan dengan pemilu-pemilu Orde Baru.

Oleh karena itu, ketika membahas sistem pemilu, hingga kini, banyak pihak terjebak pada perdebatan proporsional tertutup versus proporsional terbuka.

Pendukung proporsional terbuka mengklaim, bahwa ini sistem pemilu yang paling demokratis karena pemilih bisa menentukan sendiri calonnya. Mereka menutup mata, bahwa banyak negara pengguna sistem pemilu proporsional daftar tertutup demokrasinya lebih maju dan lebih mapan.

Mereka juga lupa bahwa salah satu tujuan penerapan sistem pemilu proporsional daftar terbuka adalah memotong kader jenggot (kader yang dekat dengan elit partai) agar setelah menjadi anggota legislatif mereka lebih mengutamakan pemilihnya. Kenyataannya, sistem pemilu proporsional daftar terbuka malah menghasilkan kader dinasti dan anggota legislatif tetap tunduk pada partai. Belum lagi bicara soal politik uang yang lebih masif.

Sementara pendukung sistem pemilu proporsional daftar tertutup juga tidak peduli dengan kenyataan bahwa partai politik semakin menjauhi nilai-nilai demokrasi sehingga partai politik tidak saja kian dinastik tetapi juga kian personalistik. Dalam kondisi demikian, apa yang akan terjadi jika calon anggota legislatif ditentukan berdasar nomor urut yang diatur oleh ketua partai politik?

Tentu tidak salah terus berdebat soal sistem pemilu proporsional daftar terbuka versus sistem proporsional daftar tertutup. Tetapi perdebatan yang hanya mengandalkan undang-undang serta pengalaman pemilu Orde Baru dan pasca-Orde Baru, tidak hanya membosankan tetapi juga mengkerdilkan diri sebagai makhluk pembelajar.

Pengalaman negara lain bisa jadi pembanding, kajian akademis bisa jadi pertimbangan, dan kedewasaan politik bisa menuntun masa depan. Itu semua bisa dimulai dari pemahaman kita tentang apa itu sistem pemilu.

Tulisan Terkait

didiksupriyanto

didiksupriyanto