Pemilu nasional dan pemilu daerah memudahkan pemilih dalam memberikan suara. Pemilih semakin berdaya sehingga partai politik berkeras menolaknya.
Pemilu legislatif adalah pemilu paling kompleks di dunia. Sistem proporsional daftar terbuka untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, serta sistem mayoritarian berwakil banyak untuk memilih anggota DPD, membuat pemilih bingung. Mereka menghadapi banyak sekali calon. Jumlahnya tiada duanya di dunia.
Pemilu Legislatif 2004 diikuti oleh 24 partai. Setiap daerah pemilihan DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota terdapat 3-12 kursi, yang berarti tersedia 3-12 calon kali 3 lembaga perwakilan kali 24 partai sama dengan 216-864 calon. Ini masih ditambah 15-30 calon DPD. Pemilih mana yang bisa memilih dengan teliti dan jeli jika saat di bilik suara harus menghadapi sekian banyak calon?
Katakanlah, setiap pemilih memiliki preferensi partai. Itu pun masih berat karena untuk memilih tiga lembaga dari satu partai, pemilih menghadapi 9-36 calon. Padahal pada Pemilu 2004, party id tidak sampai 30 persen.
Situasi demikian berlangsung hingga Pemilu 2024. Malah sejak Pemilu 2019 situasinya bertambah rumit karena pemilu presiden diserentakkan dengan pemilu legislatif, sehingga pemilih memegang lima surat suara. Pemilu lima kotak.
Kebingungan pemilih dalam memberikan suara tampak pada jumlah suara tidak sah. Jika Pemilu DPR 1999 yang menggunakan sistem proporsional daftar tertutup, suara tidak sah 3,3 persen, Pemilu DPR 2004 melonjak 8,8 persen. Pada Pemilu DPR 2009 naik 14,4 persen, 2014 turun ke 10,5 persen, 2019 naik lagi ke 11,1 persen, dan 2024 turun 10,3 persen.
Suara tidak sah Pemilu DPR 2024 itu setara dengan perolehan suara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 10,6 persen yang meraih 68 kursi. Suara tidak sah tersebut setara dengan jumlah pemilih negara tetangga Malaysia. Sedangkan standar suara tidak sah UNDP (PBB) adalah kurang dari 4 persen.
*****
Putusan MK No 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pemilu nasional (DPR, DPD, dan presiden) dari pemilu daerah (DPRD provinsi dan gubernur serta DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota) akan menyederhanakan kompleksitas yang dihadapi pemilih. Format pemilu ini dapat mengurangi jumlah calon secara signifikan. Selain itu, penyerentakan pemilu presiden-DPR dan kepala daerah-DPRD memaksa partai-partai berkoalisi sejak dini.
Jumlah calon anggota legislatif berkurang yang dibarengi dengan koalisi partai politik dalam mengusung pasangan calon eksekutif, menciptakan ruang cukup bagi pemilih untuk bersikap rasional. Sebab, semakin sedikit calon yang dibarengi pemilahan koalisi, semakin memudahkan pemilih mengidentifikasi para calon, sehingga semakin mudah menjatuhkan pilihan.
Gambaran rasionalitas pemilih meningkat pada saat calon sedikit itu terlihat dari hasil pilkada gelombang pertama (2005-2008) dan kedua (2010-2013). Pada kedua pilkada tersebut, di Jawa 40 persen calon petahana tidak terpilih sedangkan di luar Jawa angkanya 60 persen. Padahal petahana tidak hanya memiliki popularitas tinggi dan modal besar, tetapi juga dapat menggerakkan birokrasi. Kinerjanya buruk membuat pemilih menolaknya.
*****
Rasionalitas pemilih itulah yang ditakuti partai sehingga mereka menolak pemilu nasional dan pemilu daerah. Sebetulnya partai tidak peduli, pemilu presiden dan atau pemilu gubernur dan bupati/walikota akan dipisah atau dibarengkan dengan jenis pemilu apa pun. Bagi partai politik, yang penting pemilu legislatif dipertahankan. Mengapa? Paling tidak terdapat tiga jawaban.
Pertama, partai enggan beralih dari zona nyaman. Format pemilu legislatif, baik sebelum maupun sesudah diserentakkan dengan pemilu presiden, membuat nyaman partai. Sebab, mereka mengunjungi pemilih (konstituen) hanya sekali dalam lima tahun.
Memang, setelah pemilu presiden-legislatif, terdapat pilkada. Namun dalam pilkada, pekerjaan partai politik hanya sampai pada pencalonan. Setelah itu tim kampanye bentukan pasangan calon yang bekerja mencari dukungan pemilih. Di sini relawan berperan penting, sedang mesin partai politik tidak berputar.
Selain itu, pilkada yang diselenggarakan terpisah dari pemilu legislatif, membuat partai leluasa “jualan perahu” kepada bakal calon kepala daerah. Ruang negosiasi harga pencalonan terbuka lebar sebab mereka tidak perlu membangun koalisi untuk memperkuat calon kepala daerah.
Jika pemilu kepala daerah diserentakkan dengan pemilu anggota DPRD, maka ruang “jualan perahu” berkurang. Pertama, partai-partai harus memikirkan koalisi untuk memenangkan calon kepala daerah sekaligus menguasai mayoritas kursi DPRD; kedua, mereka dipaksa pengurus pusat sebab kecenderungan partai ingin mempertahankan koalisi pemilu nasional berlaku di pemilu daerah.
Kedua, partai tidak mau dikontrol kinerjanya oleh pemilih secara efektif. Pemilu legislatif (DPR) yang dipisahkan dari pemilu presiden membuat partai tidak terkena dampak atas kemarahan pemilih akibat kinerja buruk presiden terpilih yang didukungnya.
Pada pilkada yang dipisahkan dari pemilu DPRD, bagaimana pun kinerja kepala daerah sama sekali tidak berpengaruh terhadap keterpilihan calon-calon anggota DPRD yang diajukan partai, karena pemilih tidak bisa menjatuhkan hukuman akibat pemilu terpisah.
Dengan kata lain, kinerja hasil pemilu nasional (presiden, menteri, dan fraksi-fraksi pendukung di DPR) akan memengaruhi sikap pemilih dalam pemilu daerah. Sebaliknya, kinerja hasil pemilu daerah (kepala daerah dan fraksi-fraksi pendukung di DPRD) akan memengaruhi sikap pemilih dalam pemilu nasional.
Oleh karena itu, partai politik tidak mau dikontrol terus menerus oleh pemilih melalui pemilu nasional dan pemilu daerah yang dipisahkan dalam jeda dua tahun atau kurang dari separuh siklus pemilu lima tahunan.
Ketiga, pemilu legislatif meringankan beban partai sebab biaya kampanye ditanggung bareng calon anggota DPR dan DPRD. Kerja tandem ini menguntungkan calon-calon DPR, sebaliknya merugikan calon-calon DPRD. Modal besar dan katebelece pengurus pusat partai, membuat calon-calon DPR semena-mena terhadap calon-calon DPRD.
Calon-calon daerah merasa jadi budak pencari suara calon-calon pusat. Oleh karena itu, pengurus partai daerah dan calon-calon DPRD sangat antusias menyambut pemilu nasional dan pemilu daerah. Mereka merasa bisa mencari suara tanpa tekanan dari orang-orang Jakarta.
*****
Partai punya peran sentral dalam demokrasi perwakilan. Posisi dan fungsinya tersurat jelas dalam UUD 1945. Tetapi itu bukan berarti partai membiarkan dirinya terperangkap dalam arus mundur demokrasi. Citra buruk partai dan DPR dalam dua dekade terakhir mestinya menjadi pelecut perbaikan, bukan berdalih macam-macam demi bertahan di zona nyaman.
Pemilu nasional dan pemilu daerah dalam memang memaksa partai untuk bekerja keras meraih kepercayaan pemilih. Itulah adalah jalan terbaik yang harus ditempuh agar partai mampu memperjuangkan kepentingan pemilih.
Yang tak kalah penting, pemilu nasional dan pemilu daerah memperbesar peluang menciptakan pemerintahan efektif. Pertama, penyerentakkan pemilu presiden dengan DPR cenderung menghasilkan pemerintahan kongruen di mana presiden terpilih akan diikuti oleh penguasaan mayoritas kursi DPR oleh koalisi partai politik pendukungnya. Pemilu daerah juga menciptakan kondisi serupa di pemerintahan daerah.
Kedua, pemilu nasional dan pemilu daerah sejauh jeda antara keduanya kurang dari separuh siklus pemilu, dapat menciptakan pemerintahan konkuren secara vertikal, dalam arti partai-partai yang menguasai pemerintahan nasional kurang lebih serupa dengan yang menguasai pemerintahan daerah.
Dua hal tersebut penting dalam upaya meningkatkan efektivitas pemerintahan. Sebab dalam negara kesatuan yang menerapkan prinsip desentralisasi dan otonomi daerah, keberhasilan koordinasi dan kerja sama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah menjadi faktor penentu bagi suksesnya pemerintahan secara keseluruhan: melindungi dan mensejahterakan rakyat.