Editor: Abdul Manan
Bahasa: Indonesia
Penerbit: Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Cetakan: Pertama,
Tebal: 428 halaman
Harga:
Karya-karya besar, termasuk buku bernilai sejarah, tak pernah lahir kebetulan. Setiap adikarya adalah buah dari niat dan ketekunan yang diupayakan.
Setelah tertunda beberapa kali, tim penulisan Buku 20 Tahun AJI akhirnya terbentuk. Pada suatu rapat bulan Mei 2014, Sekjen AJI Suwarjono mengusulkan Abdul Manan sebagai koki utama buku ini. Redaktur Majalah Tempo berdarah Madura ini dipilih karena punya kesabaran menulis panjang dan keuletan melakukan riset.
Pengurus AJI menyetujui usulan Jono. Cak Manan pun bersedia menerima tugas dari AJI, bahkan langsung menyusun outline. Setelah nama Manan, kami memilih beberapa penulis inti. Layaknya asisten koki, mereka bertugas berbelanja, memilah bahan makanan, sembari menyiapkan bumbu
masakan.
Para penulis itu Arfi Bambani, redaktur Vivanews, Agustinus Eko Raharjo, produser Kompas TV, Wenceslaus Manggut, pengelola www.dream.co.id, Wenri Wanhar, penulis majalah Historia, Hasudungan Sirait, jurnalis senior dan instruktur jurnalistik, dibantu Y. Hesthi Murthi sebagai periset. Adapun Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ditunjuk sebagai pencicip masakan alias proofreader. Di balik buku bernilai sejarah, terdapat tim yang berkeringat.
Menulis berita tentang orang lain memang lebih mudah ketimbang menuliskan sejarah diri sendiri. Untuk janjian wawancara misalnya, tidak mudah bertemu senior pendiri AJI mengingat kesibukan mereka. Padahal dalam iklim
politik represif, dulu, pengurus dan anggota AJI cukup mudah bertemu, meskipun harus sembunyi-sembunyi untuk menghindari pantauan aparat intelijen.
Dari penelusuran Tim Buku, diketahui kisah perjalanan AJI tidak selamanya manis. Beberapa terasa pahit, bahkan menyakitkan untuk diungkap. Perbedaan pendapat antarpendiri AJI, perpecahan antarfaksi media pascapembredelan 1994, sampai pemecatan anggota AJI yang berseberangan dengan prinsip organisasi, mewarnai perjalanan AJI sejak awal hingga kini.
Melalui buku ini, saya berharap anggota AJI, komunitas jurnalis, dan mereka yang penasaran dengan kiprah AJI selama 20 tahun, bisa mengenal AJI lebih baik.
Tim Penulis Buku mewawancarai lebih dari 30 nara sumber, meliputi pendiri AJI, anggota senior, anggota biasa, termasuk simpatisan yang pernah terlibat dengan AJI sejak awal. Ada juga sharing pengalaman dari presidium, ketua, dan sekjen AJI sejak 1994 sampai 2014.
Mencengangkan membaca sepak terjang para Ketua AJI sejak era bawah tanah hingga era Facebook. Saya tahu persis, menjadi ketua, sekjen, atau pengurus AJI, adalah pengabdian sukarela. Kami menyebutnya volunterisme berorganisasi. Inilah sumber kekuatan yang membuat AJI bertahan selama dua dekade.
Memasuki usia ke-20, saya mengibaratkan AJI seperti penyu yang melewati rupa-rupa kesulitan dan bisa berumur panjang. Sejak pertama mengenal lautan, penyu terus menggerakkan kaki-tangannya agar bisa mengarungi samudera luas. Dengan kepala tegak, sang penyu menerjang ombak menuju satu tujuan.
Kisah pahit getirnya membangun AJI di berbagai kota Indonesia, rasanya layak diketahui masyarakat. Minimal publik mengetahui, apa itu “binatang” bernama AJI ini. Berangkat dari 4 kota pendiri pada 1994 dengan beberapa puluh anggota, menjadi 36 AJI Kota –dari Papua hingga Aceh– dengan hampir 2 ribu anggota pada 2014, bukanlah perjuangan mudah.
Sejak didirikan pada Agustus 1994, AJI berkomitmen memperjuangkan kebebasan pers, serta memberikan informasi berkualitas bagi publik. Setelah kebebasan berhasil direbut dari rezim otoriter, AJI memastikan anggotanya memahami standar etika profesi jurnalis. Untuk memperbaiki kesejahteraan jurnalis, para pendiri memutuskan AJI bergabung dengan Federasi Jurnalis Internasional (IFJ) yang berpusat di Brussels, Belgia. Ini bagian dari strategi menghadapi organisasi wartawan “pro-pemerintah” yang menguasai kehidupan pers nasional saat itu.
Begitulah. Setiap zaman menghadapi tantangan berbeda, termasuk dalam era jurnalistik digital dan penyiaran yang massif seperti sekarang.
Sepanjang tahun politik 2011-2014 yang bergejolak, AJI melakukan “akrobat profesi” sambil menegakkan prinsip etika untuk memastikan anggotanya bekerja secara profesional dan tetap menjaga independensi ruang redaksi. Diketahui, sebagian pemilik media yang terjun ke politik memanfaatkan medianya, termasuk menguasai wartawan, untuk melayani kepentingan politik-ekonomi jangka pendek yang bertentangan dengan prinsip netralitas dan keberimbangan jurnalistik.
Akhirnya, kepada Tuhan Yang Maha Hebat saya bersyukur. Kepada Tim Buku, juga Pengurus AJI periode 2011-2014, saya sangat berterimakasih. Kerja keras kita mengumpulkan catatan sejarah yang terserak, berbuah Buku 20 Tahun AJI, tepat pada akhir kepengurusan kita. Para hadirin yang dimuliakan Allah, Iqra. Yang artinya, selamat membaca.
Ketua Umum AJI,
Eko Maryadi
Lampiran
File PDF