Pendahuluan
Pasal 28H ayat (2) UUD 1945: “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.” Pasal 245 UU No 7/2017: “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen).”
Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Karena rakyat berjumlah banyak tidak mungkin memerintah secara bersama- sama dan secara langsung, maka Inggris, Amerika, dan Prancis –tiga negara pertama yang berkeras mempraktikkan demokrasi– mengembangkan konsep demokrasi perwakilan. Di sini pengertian “rakyat” diubah menjadi “wakil rakyat” yang dipilih melalui pemilihan rakyat atau pemilu.
Menurut Lively (1975: 30), pada awal kelahirannya di Inggris, Amerika, dan Prancis, para penggerak demokrasi harus menafsir kembali konsep kedaulatan rakyat dan kehendak umum yang dikemukakan oleh Rousseau (1712-1778), sebab konsep abstrak tersebut mudah diselewengkan rezim berkuasa. Oleh karena itu demi kepentingan praktis, pengertian “rakyat” dalam kedaulatan rakyat dan pengertian “umum” dan kehendak umum harus dimaknai mayoritas. Dengan demikian yang dimaksud kedaulatan rakyat adalah kedaulatan mayoritas; yang dimaksud kehendak umum adalah kehendak mayoritas.
Demi mewujudkan kedaulatan mayoritas dan kehendak umum tersebut, maka dibentuk lembaga perwakilan rakyat, yang pengisiannya menggunakan sistem pemilu mayoritarian. Dalam sistem ini setiap daerah pemilihan terdapat hanya 1 (satu) kursi perwakilan. Artinya, siapa yang meraih suara terbanyak atau suara mayoritas, dia mewakili rakyat di daerah pemilihan tersebut untuk duduk di lembaga perwakilan rakyat. Inggris dan Amerika menggunakan model mayoritas sederhana atau simple majority, dengan formula A>B>C>D, di mana A adalah calon terpilih; sedangkan Prancis menggunakan model mayoritas mutlak atau absolute majority, dengan formula A>B+C+D, di mana A adalah calon terpilih.
Setelah Perang Dunia I (1914-1918) konsep demokrasi mayoritas mulai mendapat kritik; dan kritik semakin keras setelah Perang Dunia II (1939-1945). Intinya, pemerintahan mayoritas menyiratkan tiadanya demokrasi karena penyingkiran minoritas. Menurut Lewis (1965), demokrasi mayoritas hanya demokrasi dalam pengertian sekunder. Pengertian demokrasi primer adalah setiap orang yang terpengaruh oleh keputusan harus memiliki kesempatan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui perwakilan yang dipilih. Jika pemenang mengambil semua keputusan pemerintahan, sedang yang kalah hanya mengkritik tetapi tidak ikut memerintah, menjadikan definisi demokrasi primer tidak kompatibel dengan demokrasi sekunder sehingga hal ini melanggar makna demokrasi sesungguhnya.
Meskipun demikian Lewis tetap bisa menerima demokrasi mayoritas dengan dua syarat. Pertama, terjadi kompetisi politik yang memungkinkan silih bergantinya pemenang sehingga mayoritas dan minoritas juga silih berganti. Kondisi ini bisa bisa berlaku dalam sistem duapartai sebagaimana terjadi di Inggris dan Amerika. Kedua, dalam masyarakat relatif homogen sehingga perbedaan kebijakan antara partai-partai utama dengan partai-partai lainnya tidak terlalu lebar sehingga siapapun yang memerintah tidak menghadirkan diskriminasi.
Kenyataanya dua syarat itu hanya bisa dipenuhi oleh beberapa negara saja. Akibatnya praktik demokrasi mayoritas tidak saja melanggar prinsip utama demokrasi, tetapi juga menimbulkan banyak masalah. Sebab, sebagian besar negara justru dihuni oleh masyarakat majemuk, berbeda agama, ideologi, bahasa, budaya, etnis, ras, juga kelas ekonomi. Dalam kondisi seperti itu kehadiran demokrasi mayoritas justru menimbulkan perpecahan sehingga perdamaian yang menjadi misi demokrasi tidak mungkin terwujud. Pemerintahan yang terbentuk pun akhirnya tidak bisa bekerja dengan baik.
Demi mengatasi kelemahan demokrasi mayoritas di masyarakat majemuk, demokrasi perwakilan yang tumbuh di Eropa daratan pada abad XX menemukan jalannya sendiri. Lijphart (1975) memperkenalkan konsep demokrasi konsosiasional untuk menunjukkan perkembangan demokrasi perwakilan di Jerman, Belanda, Swis, Italia, dan negara-negara Skandinavia. Demokrasi yang tumbuh dalam masyarakat majemuk ini ditopang oleh elit politik berbudaya koalisional, yang dihasilkan oleh sistem pemilu proporsional. Dalam sistem ini setiap daerah pemilihan menyediakan kursi jamak (dua atau lebih), sehingga kemajemukan masyarakat di daerah pemilihan tersebut bisa direpresentasikan oleh calon-calon terpilih yang duduk di lembaga perwakilan.
Sistem pemilu proporsional lebih mampu mewadahi masyarakat majemuk sehingga bisa mengakomodasi hadirnya banyak kelompok masyarakat di parlemen. Jika tidak semua partai politik terwakili di parlemen, dalam sistem pemilu proporsional setidaknya lebih banyak partai politik yang bisa masuk parlemen jika dibandingkan dengan sistem pemilu mayoritarian. Dengan demikian tuntutan model perwakilan deskriptif lebih mudah diwujudkan.
Selengkapnya silakan buka Lampiran File PDF
Lampiran
File PDF