Sebagian besar daerah sudah menggelar pemungutan suara ulang yang diperintahkan MK. Ditemukan kasus-kasus politik uang, yang bisa membawa pemungutan suara ulang kembali. Mungkinkah tanpa pasangan calon lama?
Hingga Senin (21/04/2025) sudah 18 daerah menggelar pemungutan suara ulang (PSU) untuk pemilihan kepala daerah (pilkada) masing-masing. Masih tersisa 6 daerah yang belum menggelar PSU, dari 24 daerah yang diharuskan MK akibat berbagai pelanggaran yang memengaruhi hasil.
Salah satu pelanggaran yang disebut MK hingga harus dilakukan PSU adalah politik uang atau jual beli suara di antara tim kampanye dan pasangan calon dengan pemilih. Bentuknya bisa berupa membagikan uang tunai atau natura berupa bahan pangan, sandang, dan fasilitas lain.
Sayangnya, pelanggaran serupa juga terjadi pada PSU yang baru lalu. Bawaslu mengaku menemukan beberapa kasus politik uang di Serang (Banten), Tasikmalaya (Jawa Barat), dan Banjarbaru (Kalimantan Selatan). Kelompok pemantau juga menemukan hal yang sama.
Bawaslu sedang memroses kasus bagi-bagi uang ke pemilih, yang masuk kategori tindak pidana pemilu tersebut, ke pengadilan. Namun MK tidak menempatkan putusan pengadilan sebagai penentu dilakukannya PSU (lagi).
Sejauh MK menemukan terjadinya pelanggaran terstruktur sistematis dan masif, maka PSU harus dilakukan (lagi). Atau, jika MK menemukan pelanggaran itu terbukti signifikan dalam menentukan hasil, maka PSU (lagi) tak terhindarkan.
Jadi, sangat mungkin terjadi PSU lagi. Sebab, pasangan calon yang kalah bisa mengajukan gugatan dengan dalih terjadi politik uang (yang masif).
Masalahnya, kalau pasangan calon yang kalah juga melakukan hal serupa (tentu atas bukti-bukti yang ditunjukkan lawannya di sidang MK), bagaimana jadinya nanti? Mungkinkah pasangan-pasangan calon yang sama-sama terbukti melakukan politik uang, sama-sama dicoret dari daftar calon dalam PSU berikutnya?